Dalam konten ini saya berusaha untuk memnganalisa
dengan kajian “Filsafat Ilmu” dimana kajian ini sudah dan masih berlangsung
untuk saya pelajari di kuliah S2 saya sekarang. Semoga memberikan gambaran yang
baik terhadap wacana diatas.
Sedikit cerita,
tadi pagi ketika saya bangun tidur dan langsung menyalakan televisi, tiba-tiba
saya mendengar dan melihat bahwa tadi malam ada pemilihan ketua dan wakil ketua
DPR RI periode 2014-2019. Dan hasil nya adalah : Ketua DPR dipimpin oleh Setya
Novanto (Golkar), dan wakil DPR adalah Fadli Zon (Gerindra), Fahri Hamzah
(PKS), Agus Hermanto (demokrat) dan Taufik Kurniawan (PAN).
Dan kalo saya lihat itu semua pimpinan DPR dari
koalisi merah putih. Karena sebelumnya koalisi PDIP Perjuangan walk out karena
meminta kepada ketua sidang Ibu Popong untuk menunda sampai hari kamis, tetapi
tidak di hiraukan oleh ketua DPR. Sumber Kompas.com.
Dengan menetapkan semua pimpinan dari kubu kolaisi
merah putih, maka koalisi merah putih menang dan menguasai parlemen sekarang.
Selasa 26 September 2014, kami rakyat Indonesia
sangat dikagetkan oleh keputusan para anggota dewan yang terhormat yang
memutuskan RUU Pilkada Tidak langsung yang artinya pemilihan kepada daerah
dilakukan oleh wakil rakyat yang duduk di parlemen. Dalam konteks ini warga
negara tidak bisa memilih kepala daerah secara langsung yang akan menjadi
pemimpin mereka di periode mendatang.
So, dari materi diatas akan saya akan sedikit ulas
dan saya tautkan dengan kajian teori filsafat ilmu. Insyallah bisa bermanfaat.
Sekarang ini kita semua warga negara Indonesia mengetahui
bahwa Jokowi-JK adalah presiden dan wakil persiden terpilih periode 2014-2019
yang dipelopori atau didukung oleh beberapa parpol diantaranya PDIP, PKB,
Hanura, Nasdem dan PKPI. Sedangkan di tingkat parlemen (legeslatif) koalisi
merah putih (KMP) yang menguasai yaitu Gerindra, Golkar, PPP, PKS, dan PAN. Untuk
Demokrat masih galau, tetapi dengan keputusan mereka walk out dari sidang
paripurna RUU Pilkada tidak langsung masyarakat akan bisa menyimpulkan
sebenarnya demokrat berpihak kemana.
- Kebenaran Ontologis
Menurut kebenaran ontologis RUU Pilkada tidak
langsung adalah benar. Tetapi kebenaran ini menurut saya adalah salah. Kebenaran
ontologis benar dan hasilnya benar jika mempunyai kebenaran absolut.
Dalam penetapan RUU Pilkada tidak langsung adalah
benar tapi kebanaran itu menjadi salah apabila terdapat pengaruh (aksidensia)
politik didalamnya. Demokrasi memang tidak terlepas dari politik. Karena setiap
pemimpin daerah diajukan oleh masing-masing parpol yang mengusung, dengan
melihat track record atau kemampuan
dan capability yang dimiliki oleh calon pemimpin.
Politik yang baik adalah politik yang membangun
karakter bangsa, dan politik yang baik adalah politik yang bisa menyejahterakan
rakyat bukan segelintir orang yang pro terhadap mereka.
Dalam gejolak perpolitikan yang dijalani Indonesia
sekarang bahwa menunjukkan politik yang tidak sehat. Banyak aturan atau
undang-undang baru yang dibentuk oleh koalisi merah putih untuk di terapkan di
Indonesia. Yang kita takutkan adalah undang-undang atau aturan itu digunakan
untuk menjegal pemerintahan Jokowi-JK. Karena koalisi Jokowi-JK diparelemen minoritas.
Kalo hal itu terjadi maka kebanaran ontologis ini
akan menjadi bias dan intersubyektif. Karena
benar menurut aturan tetapi menjadi tidak benar apabila tindakan politik diatas
diterapkan.
2. Kebenaran Epistimologi
Kebenaran epistimologi adalah kebenaran yang
obyektif karena didukung oleh kebenaran ontologis absolut. RUU Pilkada tidak
langsung menurut logika memang benar, karena dengan RUU tidak langsung
dikatakan bisa menghemat biaya, mengurangi praktek korupsi dll. Tetapi bagaimana
kita bisa memastikan kalo RUU Pilkada tidak langsung itu tidak bersyarat akan
korupsi dan nepoteisme atau mempunyai kebenaran obsolut untuk dilaksanakan??
Itu yang menjadi pertanyaan. Dikatakan dengan pilkada
langsung banyak biaya yang dikeluarkan pemerintah dan banyak praktek suap
(korupsi) dari para calon pemimpin daerah kepada masyarakat misal adanya
politik uang. Tetapi menurut wakil ketua KPK Bambang.W bahwa korupsi yang
dilakukan apabila pilkada tidak langsung itu sangat sulit ditelusuri dan itu
lebih besar jika dibandingkan dengan pemilu langsung.
Kita tidak menutup mata, bahwa pilkada langsung
banyak politik uangnya, dari memberikan uang kepada masyarakat atau bahkan
membagikan bahan pokok ke masyarakat. Disini yang menikmati kebanyakan adalah
masyarakat. Tapi kalo pilkada tidak langsung suap dinikmati oleh para elit
anggota dewan. Disana terjadi transaksional dan jumlah uangnya tidak sedikit
tapi besar.
3. kebeneran aksiologi
Kebenaran aksiologi merupakan kebenaran yang
memberikan manfaat buat masyarakat (negara) bukan kepentingan golongan.
RUU Pilkada tidak langsung memang sudah diketok,
tetapi Presiden SBY akan mengeluarkan Perpu pengganti UU tersebut, dan ada
beberapa yang menggungat UU tersebut ke MK. Ya kita lihat saja hasilnya nanti.
Tapi kalau semisal nanti perpu dan gugatan itu
ditolak MK maka pilkada tidak langsung akan tetap dijalankan di Indonesia. Hal ini
sungguh membuat sebagian besar rakyat kecewa. Karena sangat dimungkinkan bahwa
kepala daerah akan dipimpin oleh koalisi penguasa yaitu KMP untuk menduduki
kursi pemimpin di tiap-tiap sebagian besar wilayah RI.
Disamping itu terjadi kemunduran demokrasi karena
hak memilih rakyat dihilangkan. Ok lah DPRD adalah wakil rakyat, tetapi apakah
bisa semua hak pilih diwakilkan seperti itu. Menurut saya tidak bisa. Hak pilih
adalah hak privasi masing-masing. Yang diwakilkan ke DPRD adalah hak-hak yang
berhubungan dengan kesejahteraan warga bukan hak-hak yang merujuk ke privasi
individu.
Jadi kesimpulannya adalah UU Pilkada tidak
langsung menurut kebenaran aksiologi, epistimologi dan aksiologi adalah benar
tapi salah jika diterapkan di Indonesia
yang kita cintai ini.
Semoga bangsa Indoensia semakin jaya, dan
terhindar dari orang-orang/golongan golongan yang mengatasnamakan negarawan
tapi punya ide jahat dibelakangnya. Amin..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar