Semalam
saya mengikuti sidang paripurna melalui siaran langsung di Tv untuk memilih
serangkaian pimpinan di MPR. Dan setelah dilakukan voting tertutup menghasilkan
pemenangnya adalah Paket B yaitu
Zulkifli Hasan dari PAN dan wakil ketua MPR yaitu Hidayat Nurwahid (PKS), Mahyudin
(Golkar), EE Mangandaan (Demokrat), Oesman Sapta (DPD).
Awalnya
pemungutan suara akan dilakukan dengan musyawarah mufakat yang diusulkan oleh
koalisi Indonesia Hebat (Jokowi-JK) tetapi dari koalisi merah putih
menginginkan voting. Setelah waktu di skors beberapa jam, maka pimpinan MPR
sementara memutuskan pemungutan suara voting dilakukan karena paket pilihan
lebih dari satu dan YANG PALING PENTING musyawarah mufakat tidak tercapai.
Awalnya
musyawarah mufakat begitu kental di negeri tercinta kita ini. Sampai-sampai
ketika saya masih sekolah dasar dulu, saya masih ingat ketika guru menanyakan
pemungutan suara di Indonesia dilakukan dengan apa??? Saya menjawab voting.
Tapi jawaban saya ini disalahkan oleh guru, dan yang benar adalah musyawarah
mufakat.
Tapi
kalo sekarang ini pemuungutan suara yang benar bukan dilakukan dengan
musyawarah mufakat tapi dengan voting. Aneh memang !!!!
Musyawarah
mufakat adalah sistem pemungutan suara dengan cara bersama-sama atau semua rangkaian
sistem bertemu untuk menemukan suatu keputusan mufakat yang bisa
dipertanggungjawabkan kepada masyarakat dan Tuhan YME. Dan biasanya musyawarah
mufakat dilakukan oleh beberapa anggota yang jumlahnya terbatas. Jadi jangan
disamakan dengan pemilu. Ketika kita memilih pimpinan dengan cara pemilu
(nyoblos) karena kondisi dan situasi yang tidak bisa dilakukan musyawarah
mufakat, dan hal ini sudah termaktub dalam UU yang berlaku.
Sedangkan
voting dilakukan apabila musyawarah mufakat tidak terlaksana. Voting adalah
pemungutan suara dengan cara suara terbanyak.
Kenapa musyawarah mufakat itu luntur sekarang ini di
Indonesia?? Menurut saya ada beberapa factor yang menjadikan musyawarah mufakat
sepertinya tidak ada lagi di Indonesia, sebagai contoh Yaitu :
a. Banyak
kepentingan
Terlalu
banyak kepentingan di negeri ini. Terutama para politisi di Indonesia ini yang
lebih mengutamakan golongannya daripada kepentingan umum (Negara).
b. Ingin
menghambat pemerintah eksekutif
Semoga
hal ini tidak terjadi di Indonesia. Meskipun koalisi merah putih mampu
memenangkan beberapa keputusan secara voting yaitu UU MD3, UU Pilkada Tidak
Langsung, Pimpinan DPR, dan Pimpinan MPR. Kita tahu bahwa koalisi merah putih
adalah partai oposisi di pemerintahan sekarang (Jokowi-JK). Meskipun demikian
kami warga Negara Indonesia berharap semoga koalisi merah putih bisa menjadi
peyeimbang bukan penghambat. Amin
c. Negarawan
tapi bukan negarawan
Kita
sebut negarawan sejati apabila kepentingan rakyat yang diutamakan, tetapi kalo
saya melihat kondisi per-politikan di negeri ini, banyak orang yang mengaku
negarawan tetapi aktualnya adalah kepentingan pribadi dan golongan yang lebih
diutamakan. Ehmmm apa istilahnya ini …simpulkan sendiri deh !!!
d. Tidak
adanya kerukunan
Dilihat
secara saksama diantara politikus kurang adanya kerukunan yang terjadi.
Sehingga untuk duduk bersama menyelesaikan maslaah dengan mufakat sepertinya
hanyalah mimpi belaka. Masing-masing pihak tidak mau melepas krah putihnya
(jabatan) untuk hanya sekedar bicara dari hati ke hati sehingga keputusan yang
optimal akan tercapai.
Semoga
kegaduhan politik di negeri tercinta ini segera usai, sehingga kondisi
perekonomian juga semakin bangkit bukan semakin memburuk.
Dan
sekarang masyarakat terbuka mata, mana parpol yang baik dan mana parpol yang
hanya mengatasnamakan negara. Mana negarawan sejati dan mana orang yang hanya
ngaku disebut negarawan.
Semoga
Indonesia semakin jaya !!! amin
Tidak ada komentar:
Posting Komentar